Kamis, 12 Mei 2016
Hari penutupan IMBASADI
(Ikatan Bahasa Daerah se-Indonesia) di Unesa, ada yang membuatku sangat
berkesan. Aku dan Ratna mewawancari delegasi Mahasiswa dari Universitas lain.
Yang pertama adalah Mahasiswa dari Universitas Flores bernama Linda dari prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Darinya, aku baru tahu kalau disana
bahasa daerah belum menjadi kurikulum pendidikan, hanya ada satu sekolah yang
ada bahasa Floresnya. Bahasa daerah disana ada satu bahasa Flores, terdapat
banyak dialek-dialek, sama seperti bahasa Jawa yang terdapat dialek-dialek
(Surabaya, Malang, Banyumas).
Mahasiswa kedua yang
kami wawancari adalah delegasi mahasiswa dari UPI (Universitas Pendidikan
Indonesia) jurusan Bahasa Sunda bernama Marsel. Tidak banyak yang kami
tanyakan, hanya bertanya kesan dan pesan dan harapan kedepannya IMBASADI
bagaimana. Mahasiswa keriga yang kami wawancari pun juga begitu. Delegasi dari
Universitas Veteran Solo, yang baru pertama kali ini mengikuti IMBASADI,
bernama Seli dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (Jawa).
Yang paling berkesan
adalah wawancara mahasiswa keempat dan kelima. Mahasiswa keempat dari Institut
Hindu Darma Negeri Denpasar, Bali. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Agama prodi Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali yang bernama Puspita.
Setelah kami wawancarai, dia bertanya-tanya tentang pers kami. Tidak dinyana
dia adalah salah satu anggota Pers di Universitasnya. Kami pun saling sharing
tentang Pers Unesa dan IHDN. Darinya kami tahu disana Persnya berdiri sebagai
UKM, tidak seperti Sesasi ini yang menjadi semi-otonom Bem F. Pers mereka
bernama Pers Brahamana. Hambatan mereka sama dengan hambatan yang ada di
Sesasi, yaitu anggota yang minim. Usaha mereka untuk menarik anggota baru
antara lain dengan membagikan brosur yang dibuat dengan semenarik mungkin dan
pelatihan jurnalistik. Tetapi tetap saja tidak dapat menarik minat yang banyak.
Mereka menyadari bahwa minat mahasiswa tentang tulis menulis masih sedikit.
Saat ini mereka mempunyai 15 anggota.
Output yang mereka
hasilkan adalah majalah yang terbit tiap setahun sekali. Majalah ini gratis
untuk setiap mahasiswa. Karena mereka dibiayai pihak Universitas.
Tidak hanya ngobrolin tentang Pers,
pembicaraan kami pun sampai perkuliahan hingga kebudayaan Bali. Membicarakan perkuliahan disana, ku merasa
asing dengan jurusan Sastra Agama. Ternyata yang mereka telaah adalah
upacara-upacara keagamaan. Dan ternyata apa yang dimiliki Bali
banyak yang sama dengan Jawa. Semisal disana ada yang namanya pupuh. Pupuh
dalam bahasa Jawa adalah kumpulan bait (pada dalam bahasa Jawa), dalam tembang
macapat. Pupuh dalam Bali ada 10. Saat dia menyebutkan pupuh antara lain
kinanti dan sinom, aku langsung kaget. Karena di tembang macapat juga ada
tembang-tembang tersebut. Lalu aku menyebutkan kesebelas tembang macapat, yaitu
pangkur, pucung, maskumambang, dhandhanggula,
gambuh, asmarandana, megatruh, kinanthi, durma, mijil, dan sinom. Dan dia
bilang bahwa yang tak ada dalam Bali yaitu tembang Gambuh. Ternyata disana
namanya Sekar apa gitu. Lupa. Disana juga ada yang namanya geguritan. Geguritan
juga dipunyai oleh sastra Jawa. Geguritan adalah puisi berbahasa Jawa.
Wawancara yang kelima
sekaligus yang terakhir adalah dari mahasiwa Sastra Daerah UI bernama Arif
Muhammad Salim. Sama seperti Mbak Puspita, setelah kami wawancarai dia
bertanya-tanya tentang pers fakultas dan pers jurusan. Ternyata dia adalah
wakil ketua Pers jurusab. Dia meminta kontak dari pers fakultas juga jurusan.
Sekaligus meminta softfile dari bulletin pers fakultas maupun pers jurusan
lewat e-mail yang alamatnya sudah diberikan padaku. Dia juga berjanji akan
mengirimkan majalah pertama yang akan terbit sebentar lagi, katanya.
Meski mereka pers
jurusan Bahasa Jawa, tetapi majalah yang mereka buat berbahasa Indonesia. Tidak
hanya berita tentang jurusan mereka, tetapi mereka menyajikan tentang UI secara
umum. Untuk mahasiwa dibagikan secara gratis. Mereka bertanya apakah bulletin
ataupun majalah kami mempunyai ISBN tidak. Aku menjawab tidak ada. Dia bilang
bahwa jika sudah mempunyai ISBN, maka majalah tersbut bisa dijual ke khalayak
umum. Lalu dia bercerita bahwa majalah mereka akan mereka serahkan ke LIPI
dalam bentuk softfile berupa dua softfile yaitu yang sudah diedit dan tidak.
Mereka hendak bekerja sama dengan LIPI guna membantu akreditasi jurusan mereka.
Karena apa yang dihasilkan oleh mahasiswa bisa dijadikan untuk pertimbangan
akreditasi.Wah ini hal yang baru menurutku. Dia juga bertanya apakah organisasi
dan redaksi dijadikan satu atau dipisah. Aku menjawabnya dengan dijadikan satu.
Hehe. Jujur saja aku belum terlalu paham. Ketika aku tanya, bagaimana disana.
Si Arif ini menjawab bahwa disana terbagi atas dua divisi. Yaitu divisi
organisasi dan divisi redaksi. Ketika aku mau bertanya bagaimana sistemnya, eh
dianya diajak kedepan untuk apa ya. ah lupa. Pokok disuruh kedepan.
Tetapi perbincangan
kami tidak melulu tentang pers saja, tetapi juga untuk kepo-kepoan kuliah
mereka. Untuk yang pers, mereka ternyata sama seperti Pers Sesasi. Yaitu badan
semi otonom dibawah naungan HMP. Mereka juga masih merintis dari awal Pers yang
mereka bangun. Untuk dana penerbitan, mereka mengeluarkan dana mandiri. Tetapi
perekrutan anggota mereka melakukannya intern. Intern disini, dimaksudkan
adalah membentuk anggota dari angkatan 2014 terlebih dahulu.
Mas Arif ini berasal
dari Tangerang. Aku bertanya kenapa kok milih jurusan Sastra Jawa. Padahal kan
Tangerang bahasa komunikasinya bukan bahasa Jawa. Dia bercerita bahwa neneknya
bisa bahasa Jawa. Dan peluang masuk UI jurusan ini termasuk mudah-mudah sulit.
Gradenya juga termasuk rendah, tetapi bukan yang paling rendah. Setidaknya
diatas filsafat. Dikatakan mudah, karena dia bisa masuk jurusan ini. Dikatakan
sulit karena adik kelasnya saja tidak diterima dalam jurusan ini. Intinya,
jangan menganggap sepele seseuatu hal. Bisa jadi hal sepele itu sebenarnya
susah. *sok bijak dikit. Lalu aku bertanya apakah susah mempelajari bahasa Jawa.
Dia menjawab, pada semester satu dia sering bertanya dengan neneknya. Karena
dia merasa asing banget dengan bahasa Jawa. Dan terkadang nenek juga nggak
tahu, katanya. Tetapi pada akhirnya dia sering bertanya pada teman-temannya.
Jurusan ini katanya banyak yang dari Jawa, ada yang dari Kediri, Jombang,
Pacitan, Solo, dan lain sebagainya.
Sepertinya aku mulai
menyukai menjadi seorang Pers. Dari sini aku bisa mengenal banyak orang baru.
Dan hal ini menyenangkan sekali. Seperti hari ini aku bisa berkenalan dengan
mahasiswa yang sama-sama anggota Pers, secara kebetulan. Kita bisa
sharing-sharing tentang bagaimana disana. Ah ini menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar