Jum’at, 29 April 2016
“Aja ngguya-ngguyu wae” Aku kaget. Entah mengapa temanku yang
bernama Sita itu sinis kepadaku. Hari jum’at adalah hari latihan karawitan pada
pukul sembilan hingga pukul sebelas. Menjelang pukul sebelas latihan karawitan
dihentikan, dilanjutkan dengan musyawarah kelas. Musyawarah kali itu membahas
tentang latihan karawitan dan denda bagi setiap orang yang terlambat atau tidak
hadir. Untuk yang tidak hadir didenda Rp 20.000, sedangkan untuk yang telat 30
menit pertama didenda jajan kiloan minimal Rp 10.000. untuk keterlembatan hadir
lebih dari 30 menit didenda Rp 15.000. Adanya peraturan ini karena pada hari
latihan banyak yang tidak hadir (dengan alasan “saya bukan pengrawit ataupun
penyanyi”)
“Ayo cah, sing duwe unek-unek mangga diomongne,” kata aji sang “Ketua
kelas”. Lalu Sita yang mengeluarkan unek-uneknya. “Kemarin siapa yang diberi
tanggung jawab mengumpulkan buku fiksi. Ervina, sampeyan kemarin diberi tanggung jawab, gimana pertanggung
jawabanmu?”
Aku yang awalnya
tidur-tiduran, terbangun karena namaku disebut. Dan aku merasa masalah itu
sudah selesai dengan Ana menyerahkan dua novelnya. Dan aku merasa tidak punya
tanggung jawab.
“Hloh? Aku kemarin kan
bilang kalo aku punya novel itu nggak di kos, tapi di rumah Blitar. Kalau
terakhir dikumpulkan hari ini, nggak sempet dong aku ngambilnya.” Belaku.
“Aku ora seneng yen wis diwenehi kepercayaan ning ora dilakoni” kata Prilli yang membuatku semakin bersalah
“Ica kemarin juga
salah. Kenapa kok nggak ngomong-ngomong?”
Yang disebut Ica hanya
bingung.
“Aku dichat Ica
kemarin. Iya dia nanyain tentang novelnya. Aku kan juga udah bilang kalau
bukuku di Blitar” belaku lagi
“Aku kemarin itu
ditanyai Mbak Abrianti, kelase sampeyan
durung numpuk buku. Terakhir ngumpul
sesuk. Aku ya bingung, langsung aku share
di BBM. Dan aku ngechat Ervinna perihal kepastiannya” kata Ica
“Kalian itu kalau ada
apa-apa jangan dipendam. Diomongin ke kelas. Gimana bukunya kurang satu. Eh urunan
sekelas kek buat beli atau gimana. Jangan diam-diaman kaya gitu. Biar kita itu
tahu juga” tambah Sita.
Lalu ada suara anak
lelaki agak membelaku “Ya kalau ada masalah jangan menyudutkan individu”
Tapi saran itu tidak
dipedulikan. Aku terus menerus disudutkan. Lalu ketika panas-panasnya, disaat
aku merasa bersalah banget, seseorang berteriak “Dancok. Happy birthday to you.”
Mala membawa empat donat dan membawa korek. Lalu Tika menyusul juga membawa
korek.
“Happy birthday to you.
Sugeng ambal warsa.”
Astaga! Aku tak
menyangka kalau sebenarnya aku dikerjain. Sampai aku terharu. Duh. Korek yang
telah dibawa Tika dan Mala dihidupkan sebagai pengganti lilin.
“Tiup koreknya, tiup
koreknya”
Aku meniupnya. Lalu satu
per satu teman-temanku menyalami dan mengucapkan selamat ulang tahun ataupun sugeng ambal warsa. Ketika Firdaus –
temanku semenjak SMA – menyalamiku, aku memeluknya.
“Semoga tulisanmu
dimuat di majalah lagi. Buat novel hingga terkenal se-Indonesia. Aku bangga
punya teman kamu,” kata Sita yang membuatku gemas
“Sugeng ambal warsa,
ya. sepurane ya,” ucap Prilli. Ah, aku sebal. Dia berhasil memancingku untuk
merasa bersalah dengan kata-kata tajamnya.
Aduhai. Terima kasih
kawan-kawanku 2015C atas kejutan kecilnya :-D
Sayang kalian semua :-*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar